A. Latar Belakang
Agama merupakan salah satu aspek yang paling penting dari pada aspek-aspek budaya yang di pelajari oleh para antropolog dan para ilmuwan sosial lainnya. Sangat penting bukan saja yang di jumpai pada setiap masyarakat yang sudah
diketahui, tetapi karena juga penting saling pengaruh mempengaruhi antara lembaga budaya satu dengan yang lainya. Di dalam agama itu di jumpai ungkapan materi budaya dalam tabiat manusia serta dalam sistem nilai, moral dan etika.
Agama merupakan salah satu aspek yang paling penting dari pada aspek-aspek budaya yang di pelajari oleh para antropolog dan para ilmuwan sosial lainnya. Sangat penting bukan saja yang di jumpai pada setiap masyarakat yang sudah
diketahui, tetapi karena juga penting saling pengaruh mempengaruhi antara lembaga budaya satu dengan yang lainya. Di dalam agama itu di jumpai ungkapan materi budaya dalam tabiat manusia serta dalam sistem nilai, moral dan etika.
Agama itu saling pengaruh mempengaruhi dengan sistem organisasi kekeluaragaan, perkawian, ekonomi, hukum, dan politik. Agama juga memasuki lapangan pengobatan, sains dan teknologi. Serta agama itu memberikan inspirasi untum memberontak dan melakukan peperangan dan terutama telah memperindah dan memperhalus karya seni, tidak terdapat suatu instuisi kebudayaan lainnya menyajikan suatu lapangan eksprresi dan implikasi begitu halus seperti halnya agama. Ide-ide keagamaan dan konsep-konsep keagamaan itu tidak dipaksa oleh hal-hal yang bersifat fisik sekirannya. Segala macam formula itu tidak menjumpai keterbasan dibanding dengan permasalahan spiritual yang dipertanyakan oleh manusia itu sendiri.
Rumusan Masalah
Bagamana hakikat agama yang sebenarnya?
Bagaimana usur-unsur agama sebenarnya?
bagaimana pengalaman beragama itu sebenarnya?
Tujuan penulisan makalah ini adalah
Untuk mengetahui hakikat agama yang sebenarnya
Untuk mengetahui unsur-unsur agama sebensrnya
Untuk mengetahui pengalaman beragama sebenarnya
Kajian pustaka
A. Hakekat Agama
Agama yang pada hakekatnya adalah keyakinan akan adanya Tuhan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, maka sangat perlu dipahami secaraseksama oleh setiap manusia.Dalam uraian ini akan kemukakan pengertian agama, hubungan agama dengan manusia, manfa’at agama, klasifikasi agama,dan agama Islam.
1. Pengertian agama
Agama dalam pengertiannya dapat dikelompokkan pada dua bahagian yaitu agama menurut bahasa dan agama menurut istilah. Beberapa persamaan arti kata“agama’’ dalam berbagai bahasa:
1. Ad din (Bahasa Arab dan Semit)
2. Religion (Inggris)
3.La religion (Perancis)
4. De religie (Belanda)
5. Die religion (Jerman)
Secara bahasa, perkataan ‘’agama’’ berasal dari bahasa Sangsekerta yang erat hubungannya dengan agama Hindu dan Budha yang berarti ‘’tidak pergi’’tetap di tempat, diwarisi turun temurun’’. Adapun kata din mengandung arti menguasai, menundukkan, kepatuhan, balasan atau kebiasaan.
Din juga membawa peraturan-peraturan berupa hukum-hukum yang harus dipatuhi baik dalam bentuk perintah yang wajib dilaksanakan maupun berupa larangan yang harus ditinggalkan. Kata din dalam Al Qur’an disebut sebanyak 94kali dalam berbagai makna dan kontek, antara lain berarti :
1. Pembalasan (Q.S Al Fatihah (1) ayat 4.
2. Undang-undang duniawi atau peraturan yang dibuat oleh raja (Q.S Yusuf (12)ayat 76.
3. Agama yang datang dari Allah SWT, bila dirangkaikan dengan kata Allah (Q.SAli Imran (3) ayat 83.
4. Agama yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW sebagai agama yang benar, yakni Islam, bila kata din dirangkaikan dengan kata al-haq (Q.S AtTaubah (9) ayat 33
5. Agama selain Islam (Q.S Al Kafirun(109) ayat 6 dan Q.S Ash Shaf (61) ayat 9.
Menurut Abu Ahmadi agama menurut bahasa :
1. Agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang diartikan dengan haluan,peraturan, jalan atau kebaktian kepada Tuhan.
2. Agama itu terdiri dari dua perkataan yaitu A. berarti tidak, Gama berarti kacau balau, tidak teratur. Jadi agama berarti tidak kacau balau yang berarti teratur.
Agama menurut istilah adalah undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengikat manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam. Maka orang yang beragama adalah orang yang teratur, orang yang tenteram dan orang yang damai baik dengan dirinya maupun dengan orang lain dari segala aspek kehidupannya.
Sebuah agama biasanya melingkupi tiga persoalan pokok, yaitu :
1. Keyakinan (credial), yaitu keyakinan akan adanya sesuatu kekuatan supranatural yang diyakini mengatur dan mencipta alam.
2. Peribadatan (ritual), yaitu tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan kekuatan supranatural tersebut sebagai konsekuensi atau pengakuan dan ketundukannya.
3. Sistem nilai yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya atau alam semesta yang dikaitkan dengan keyakinan nya tersebut.[1]
2. Klasifikasi Agama
Ditinjau dari sumbernya agama dibagi dua, yaitu agama wahyu dan agama bukan wahyu.
Agama wahyu (revealed religion) adalah agama yang diterima oleh manusia dari Allah Sang Pencipta melalui malaikat Jibril dan disampaikan serta disebarkan oleh Rasul-Nya kepada umat manusia. Wahyu-wahyu dilestarikan melalui Al Kitab, suhuf (lembaran-lembaran bertulis) atau ajaran lisan.Agama wahyu menghendaki iman kepada Tuhan Pemberi wahyu, kepada rasul-rasul penerima wahyu dan kepada kitab-kitab kumpulan wahyu serta pesannya disebarkan kepada seluruh umat manusia
Agama bukan wahyu (agama budaya/ cultural religion atau natural religion) bersandar semata-mata kepada ajaran seorang manusia yang dianggap memiliki pengetahuan tentang kehidupan dalam berbagai aspeknya secara mendalam. Contohnya agama Budha yang berpangkal pada ajaran Sidharta Gautama dan Confusianisme yang berpangkal pada ajaran Kong Hu Cu.
Perbedaan kedua jenis agama ini dikemukakan Al Masdoosi dalam Living
Religious of the World sebagai berikut :
1. Agama wahyu berpokok pada konsep keesaan Tuhan sedangkan agama bukan wahyu tidak demikian.
2. Agama wahyu beriman kepada Nabi, sedangkan agama bukan wahyu tidak.
3. Dalam agama wahyu sumber utama tuntunan baik dan buruk adalah kitab suci yang diwahyukan, sedangkan agama bukan wahyu kitab suci tidak penting.
4. Semua agama wahyu lahir di Timur Tengah, sedangkan agama bukan wahyu lahir di luar itu.
5. Agama wahyu lahir di daerah-daerah yang berada di bawah pengaruh ras semetik.
6. Agama wahyu sesuai dengan ajarannya adalah agama misionari, sedangkan agama bukan wahyu agama misionari.
7. Ajaran agama wahyu jelas dan tegas, sedangkan agama bukan wahyu kabur dan elastis.
8. Agama wahyu memberikan arah yang jelas dan lengkap baik aspek spritual maupun material, sedangkan agama bukan wahyu lebih menitik beratkan kepada aspek spritual saja, seperti pada Taoisme, atau pada aspek material saja seperti pada Confusianisme.
Agama wahyu disebut juga agama samawi (agama langit) dan agama bukan wahyu disebut agama budaya (ardhi/ bumi). Sedangkan yang termasuk dalam kategori agama samawi hanyalah Agama Islam.
3. Ciri-ciri Agama Wahyu (langit)
1. Secara pasti dapat ditentukan lahirnya, dan bukan tumbuh dari masyarakat,melainkan diturunkan kepada masyarakat.
2. Disampaikan oleh manusia yang dipilih Allah sebagai utusan-Nya. Utusan itu bukan menciptakan agama, melainkan menyampaikannya.
3. Memiliki kitab suci yang bersih dari campur tangan manusia.
4. Ajarannya serba tetap, walaupun tafsirnya dapat berubah sesuai dengan kecerdasan dan kepekaan manusia.
5. Konsep ketuhanannya adalah : monotheisme mutlak ( tauhid)
6. Kebenarannya adalah universal yaitu berlaku bagi setiap manusia , masa dan keadaan.
4. Ciri-ciri agama budaya (ardhi)
1. Tumbuh secara komulatif dalam masyarakat penganutnya.
2. Tidak disampaikan oleh utusan Tuhan ( Rasul).
3. Umumnya tidak memiliki kitab suci, walaupun ada akan mengalami perubahan-perubahan dalam perjalanan sejarahnya.
4. Ajarannya dapat berubah-ubah, sesuai dengan perubahan akal pikiranmasyarakatnya ( penganutnya).
5. Konsep ketuhanannya : dinamisme, animisme, politheisme, dan paling tinggi adalah monotheisme nisbi.
6. Kebenaran ajarannya tidak universal , yaitu tidak berlaku bagi setiap manusia, masa, dan keadaan.
5. Agama Sebagai Kebenaran
Pertama, ada dua macam agama, di tinjau dari sumbernya, yaitu: (1) agama budaya, yakni agama ciptaan manusia sendiri dan (2) agama wahyu, yakni agama yang diwahukan Allah swt. Kepada manusia;
Kedua, semua agama wahyu, semua agama para nabi, adalah agama Islam. Oleh karena itu, menurut Al Qur’an, agama islam adalah satu-satunya agama wahyu. Untuk selanjutnya, apabila kita bicara tentang agama, maka yang kita maksudkan agama wahyu itulah.
Dalam kesempatan ini baik dan perlu sekali kita ulangi yang pernah kita simpulkan yaitu: pertama, bahwa percaya dan kepercayaan itu lekat dengan diri pribadi manusia; kita tidak dapat membayangkan manusia dapat hidup dengan wajar tanpa suatu kepercayaan apapun. Kedua, bahwa baik dalam kehidupan dan penghidupan sehari-hari, maupun dalam lapangan ilmu pengetahuan, ataupun dalam bidang filsafat sekalipun, ternyata manusia tidak dapat melepaskan diri dari faktor kepercayaan. Ketiga, faktor kepercayaan ini memegang peranan pertama dan utama di dalam agama. Keempat, bentuk kepercayaan yang tinggi ialah agama.[2]
B. Unsur-unsur agama.
Setiap agama pada dasarnya terdiri dari empat unsur, yaitu:
Ajaran (= teori; konsep) sebagai sisi gaib
Iman sebagai interaksi antara pelaku dan konsep,
Ritus (= upacara) sebagai sistem lambang, dan
Praktik ( = amal) sebagai perwujudan konsep dalam segala segi kehidupan individu dan masyarakat.
Dalam dïnul-islãm (‘agama Islam’) keempat unsur itu terungkap melalui Hadis Jibril, yang mencakup butir-butir di bawah ini.
1. Ajaran Allah sebagai konsep hidup
Dalam dialog tentang iman, Rasulullah menegaskan tentang masalah terpenting dari dïnul-islãm, yaitu adanya interaksi antara seorang mu’min dengan ajaran Allah, yang disampaikan (diajarkan) melalui malaikat-malaikatNya, dalam bentuk kitab-kitab, yang diterima rasul-rasulNya, untuk mencapai tujuan akhir (kehidupan yang baik di dunia dan akhirat), dengan menjadikan ajaran Allah sebagai qadar (ukuran; standard; teori nilai) baik-buruk menurutNya.
Ajaran Allah yang dimaksud adalah Al-Qurãn.
Al-Qurãn sebagai qadr atau taqdïr adalah sisi gaib (abstract level) dari dïnul-islãm, yang merupakan “teori nilai” untuk menentukan baik buruknya segala sesuatu menurut pandangan Allah.
2. Îmãn sebagai interaksi
Iman pada hakikatnya adalah interaksi (aksi timbal balik) antara Allah sebagai pemberi konsep hidup dengan si mu’min yang menyambut da’wah (ajakan; tawaran) Allah melalui rasulNya. Selanjutnya, interaksi itu berlangsung intensif melalui penghayatan si mu’min terhadap Al-Qurãn, sehingga Al-Qurãn menjadi satu-satunya konsep hidup yang tumbuh subur dalam ‘organ kesadaran’ (al-qalbu) si mu’min, yang selanjut meledak dan membanjir keluar melalui indra pengucapan (al-lisãnu), dan akhirnya menjelma menjadi berbagai bentuk tindakan dan kretifitas (al-‘amalu). Tepat seperti dinyatakan Rasulullah, misalnya dalam hadis riwayat Ibnu Majah: ??????? ??? ?????? ? ????? ??????? ? ??? ???????? .
3. Ritus sebagai sistem lambang
Dalam dïnul-islãm ada sejumlah ritus yang dalam Hadis Jibril disebut dengan nama Al-Islãm pula, yaitu:
a. Syahãdah sebagai sumpah setia (bay’ah). Pada masa Rasulullah jelas bahwa syahadat (syahãdah) adalah sebuah ‘upacara’ (ritus) untuk menyatakan sumpah setia seseorang terhadap dïnul-islãm, alias untuk meresmikan rekrutmen seseorang atau sejumlah orang sebagai anggota bun-yãnul-islãm (organisasi Islam).
b. Shalat sebaga sarana pembatinan nilai-nilai Al-Qurãn, sekaligus pembinaan jama’ah/korp Islam. Orang-orang yang menyatakan diri (bersyahadat) sebagai anggota organisasi Islam tentu harus memahami dan menghayati konsep organisasinya, yakni Al-Qurãn. Hal itu dilakukan melalui shalat, yang bacaan pokoknya adalah surat Al-Fãtihan (ummul-qurãn) ditambah dengan surat-surat lain yang terus dipelajarinya. Selain itu, melalui shalat jama’ah, mereka juga belajar untuk membangun sebuah jama’ah atau korp yang rapi dan kompak.
c. Zakat sebagai sistem ekonomi. Zakat, mulai dari zakat harta sampai zakat fitrah, pada hakikatnya melambangkan kesediaan setiap mu’min yang mampu untuk mendanai organisasi dan memperkuat jama’ah. Lebih lanjut, setelah organisasi menjelma menjadi sebuah sistem yang dipercaya untuk menata kehidupan umat (jama’ah mu’min plus komunitas-komunitas lain, seperti terlihat pada Piagam Madinah), maka zakat itu pun dikembangkan menjadi sistem ekonomi masyarakat secara umum.
d. Shaum Ramadhan sebagai pembina ketahanan mental dan fisik dalam menerapkan nilai-nilai Al-Qurãn. Seluruh anggota organisasi jelas membutuhkan pembinaan mental dan fisik, supaya menjadi anggota-anggota yang militan dan tangguh. Shaum Ramadhan adalah sarana yang tepat untuk itu.
e. Haji sebagai sarana pemersatu umat Islam sedunia. Ibadah haji merupakan ritus yang paling istimewa di antara kelima ritus dalam dïnul-islãm. Melalui hajilah umat Islam sedunia berkumpul, menjalin persahabatan, persaudaraan, dan persatuan berdasar kesamaan iman.
4. Praktik sebagai perwujudan konsep
Dïnul-islãm pada dasarnya adalah agama yang berorientasi pada praktik (amal). Tapi supaya praktinya tidak dilakukan sembarangan, Allah menempatkan rasulNya sebagai tokoh sentral untuk memimpin dan memberikan contoh penerapan setiap aspek ajaran Islam, mulai dari yang bersifat individu sampai pada yang bersifat kemasyarakatan. Tegasnya, pribadi Rasulullah adalah contoh sempurna dari individu mu’min, dan masyarakat yang dibangun beliau bersama jama’ahnya juga, otomatis, merupakan bentuk masyarakat yang ideal. Sebuah masyarakat yang mewakili Al-Qurãn sebagai konsepnya.
5. Ihsãn sebagai sistem kendali
Seperti ditegaskan Rasulullah dalam Hadis riwayat Muslim, bahwa Allah menentukan al-ihsãn(u) pada setiap urusan, sampai pada urusan menyembelih hewan, maka bisa disimpulkan bahwa ihsan adalah sistem kendali (kontrol) atas setiap pelaksanaan ajaran Allah.
Dengan demikian, harfiah, ihsan bisa diterjemahkan sebagai “kecermatan, ketelitian, dan keseksamaan dalam melaksanakan ajaran Allah”.
Bagi kita sekarang, sikap ihsan harus diterapkan pertama-tama dalam konteks studi ajaran Allah itu sendiri, yang mencakup musshaf Al-Qurãn, kitab-kitab Hadits, plus buku-buku sejarah, dan lain-lain yang berkaitan. Studi ini harus mengarah pada “ditemukannya makna Al-Qurãn yang utuh dan murni”, yaitu suatu makna yang mampu merekonstruksi pribadi-pribadi (tokoh-tokoh), jama’ah, dan umat yang dulu dibangun Rasulullah bersama para sahabat beliau. Suatu makna yang, pertama-tama, mampu menegaskan bahwa persatuan para mu’min adalah mutlak wajib, dan perpecahan mereka adalah mutlak haram!
6. Sã’ah sebagai peluang da’wah
Harfiah, sã’ah berarti waktu, tapi waktu di sini bukanlah sembarang waktu. Dalam konteks Nabi Muhammad pada masanya, sã’ah yang dimaksud adalah waktu yang dibentangkan Allah sebagai wilayah da’wah hingga mencapai hasil. Tepatnya, waktu yang dimaksud adalah 13 tahun dalam Periode Makkah, dan 10 tahun dalam Periode Madinah. Yang pertama (Periode Makkah) merupakan masa perjuangan untuk memperkenalkan konsep Allah dan membangun jama’ah. Yang kedua (Periode Madinah) adalah masa pembangunan konsep Allah itu menjadi sebuah sistem pemerintahan.
7. Tanda-tanda sã’ah sebagai gambaran tujuan
Melalui Hadis Jibril kita mendapat gambaran bahwa tujuan penegakan ajaran Allah pada dasarnya adalah demi mencapai target-target:
a. Lenyapnya diskriminasi kelas dan gender, yang merupakan produk feodalisme dan antek-anteknya, dan
b. Lenyapnya kemiskinan struktural, yang merupakan produk kapitalisme dan antek-anteknya.
Feodalisme dan kapitalisme adalah musuh Al-Qurãn pada masa Rasulullah, dan juga pada masa sekarang.[3]
Agama sebagai pustaka kebenaran.
Iman: sikap jiwa
Iman: pertama dan utama
Agama sebagai kebenaran
Kebenaran mutlak dan kebenaran relatif[4]
C. Pengalaman Beragama
Agama merupakan salah satu aspek yang paling penting dari pada aspek-aspek budaya yang dipelajari oleh para antropolong dan para ilmuan sesial lainnya. Sangat penting bukan saja yang di jumpai pada setiap masyarakat yang sudah diketahui, tetapi juga karena penting saling pengaruh mempengaruhi antara lembaga budaya satu sama lainya. Didalam agama itu dijumpai ungakapan meteri budaya dalam tabiat manusia serta dalam sistem nilai, moral dan etika. Agama itu saling pengaruh mempengaruhi dengan sistem organisasi kekluaragaan, perkawinan, ekonomi, hukum dan politik. Agama juga memasuki lapangan pengobatan, sains dan teknologi. Serta agama itu telah memberikan inspirasi untuk memberontak dan melakukan peperanagan dan terutama telah memperindah dan memperhalus karya seni. Tidak terdapat suatu institusi kebudayaan lain yang menyajikan suatu lapangan ekspresi dan implliksi begitu halus seperti halnya agama. Ide-ide kagamaan dan konsep-konsep keagamaan itu tidak di periksa oleh hal-hal yang bersifat fisik sekiranya. Segala macam fornula itu tidak menjumpai keterbatasan di banding permasalahan spiritual yang dipertanyakan oleh manusia itu sendiri.[5]
1. Animisme
Animisme besal dari keta anima, animae; dari bahasa latin ‘animus’ dan bahasa yunani ‘avepos’, dalam bahasa sansakerta disebut ‘prana’ dalam bahasa brani disebut ‘Ruah’ yang artinya ‘napas’ atau ‘’jiwa’. Ia, adalah ajaran atau doktrin tentang realitas jiwa.
Dalam filsafat, animisme adalah doktrin yang menempatkan asal mula kehidupan mental dan fisik dalam suatu energi yang lepas atau sekurang-kurangnya berbeda dari jasad. Atau, animisme adalah teori bahwa segala objek-objek alami itu bernyawa atau berjiwa, mempunyai ‘spirit’ dan bahwa kehidupan mental dan fisik bersumber pada nyawa, jiwa atau ‘spirit’ tadi.
Dan dalam studi tentang sejarah agama prinsip kita mengenal ‘Necrolaty’, ‘Spiritisme’, ‘Naturisme’, dan ‘Animisme’. Necroalty adalah pemujaan terhadap roh-roh atau jiwa manusia dan binatang, terutama pemujaan terhadap roh orang yang telah meninggal. Spiritisme adalah pemujaan terhdap makluk spiritual yang tidak dihubungkan dalam suatu cara yang mapan dengan jasad-jasad tertentu dan obyek-obyek tertentu.[6]
2. Dinamisme
Manusia mulai menganalisa setiap peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Sebelumnya, manusia primitif mulai mengeluarkan teori-teori tentang hakikat benda atau materi. Ia mulai menggabungkan antara keberadaan ruh manusia dengan keberadaan benda lain seperti air, udara, api, dan tanah.
Animisme berkembang lebih awal daripada dinamisme. Animisme menitikberatkan pada perkembangan ruh manusia. Mulai dari sini, manusia primitif menyimpulkan bahwa setiap materi yang memiliki sifat yang sama, maka memiliki substansi yang sama pula. Jika manusia mati dan hidup, tidur dan terjaga, kuat dan lemah, diam dan bergerak, kemudian manusia diyakini memiliki ruh, maka pepohonan, binatang, laut, api, matahari, bulan, dan materi-materi lainnya pun memiliki ruh seperti manusia.
Menurut mereka, setiap materi memiliki kesamaan sifat dengan manusia. Sebagai contoh, api memiliki sifat yang sama dengan manusia. Api memiliki kekuatan untuk membunuh atau melenyapkan apapun dengan panasnya sebagaimana manusia mampu membunuh binatang dengan kekuatan tangannya. Karena itulah, api mempunyai ruh. Bagi manusia primitif, menyembah api adalah proses menghormati keberadaan api itu sendiri. Penyembahan tersebut dilakukan agar tidak terjadi kebakaran seperti kebakaran hutan, sedangkan kebakaran diyakini sebagai bentuk kemurkaan api. Selanjutnya, berkembanglah paham banyak tuhan, banyak roh, banyak dewa, atau banyak kekuatan ghaib. Setiap kawasan bumi, hutan, sungai, laut, atau bahkan ruang angkasa, semuanya diyakini memiliki kekuatan tersendiri.[7]
3. Sinkretisme agama
Animisme dan dinamisme adalah kepercayaan kuno yang tumbuh lebih awal sebelum kedatangan Islam di nusantara. Walaupun pada hakikatnya, agama Islam adalah kepercayaan yang pertama kali ada dalam kehidupan manusia. Nabi Adam adalah manusia pertama yang menganut Islam. Oleh karena itu, animisme dan dinamisme tidak lain adalah salah satu bentuk dari penyelewengan ajaran Allah. Namun bagaimanapun juga, penyebaran Islam di nusantara memang tidak bisa dipungkiri akan adanya perpaduan atau percampuradukan antara ajarannya yang agung dengan kepercayaan animisme dan dinamisme.
Dampak dari adanya sinkretisme agama ini terlihat nyata di sekeliling kita. Sebagai contoh, adanya penghormatan khusus terhadap roh nenek moyang yang menjadi leluhur kita. Atau adanya pemujaan khusus terhadap Ratu Pantai Selatan. Atau bahkan menyebarnya cerita-cerita khurafat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat muslim. Selain itu, menyebarnya praktik sihir dan perdukunan adalah produk asli dari animisme dan dinamisme. Terlebih, sinkretisme telah melegalkan bahwa praktik perdukunan adalah ajaran Islam juga. Hal ini terlihat dengan meluasnya praktik-praktik sihir yang dilakukan oleh orang-orang yang bertitel ’kyai’. Semua ini adalah realita yang nyata akibat sinkretisme agama.
Sebenarnya, banyak beberapa sisa-sisa animisme dan dinamisme, terutama di nusantara, baik ajaran tersebut masih murni ataupun telah ada pembauran dengan Islam. Berikut beberapa contoh sisa-sisa animisme dan dinamisme:[8]
4. Upacara dan Ritual Adat
Banyak masyarakat kita yang masih mempertahankan beberapa macam upacara atau ritual yang masih murni berkaitan dengan animisme dan dinamisme atau telah mengalami pembauran dengan Islam. Salah satu contohnya dalah upacara kelahiran dan kematian. Hampir di setiap daerah nusantara menggelar upacara kelahiran dan kematian dengan ritual-ritual berbeda. Contoh, di Aceh terdapat upacara Peugot Tangkai. Upacara ini adalah perajahan barang/benda dengan membacakan mantera untuk dipakai pada wanita hamil empat bulan.
Tentang acara ritual kematian dalam adat masyarakat Aceh yang sampai sekarang ini masih diamalkan seperti, apabila ada kematian di sebuah keluarga, maka semua pakaian dan kain-kain yang menyelimuti mayat tadi disimpan pada suatu tempat. Kain-kain ini disebut dengan reuhab. Biasanya disimpan di atas tempat tidur untuk selama empat puluh hari atau empat puluh empat hari. Setelah selesai upacara penguburan tadi, mulai malam pertama sampai dengan malam ketiga diadakan samadiah atau tahlil. Masih banyak lagi ritual-ritual aneh seperti membakar kemenyan pada malam jum’at kliwon dan selasa kliwon. Menyediakan sesaji pada hari kelahiran bayi. Di kamar bayi yang baru lahir digantungkan keris dan kain merah. Atau sesaji di bawah pohon beringin.[9]
5. Kesenian Budaya
Di bumi nusantara ini, masih terdapat beberapa macam kesenian yang jelas berasal dari budaya animisme dan dinamisme. Satu contoh seperti Tarian Kuda Lumping di Jawa Barat. Biasanya, sebelum pertunjukkan dimulai, para peserta wajib dibekali mantera-mantera tertentu oleh sang dukun sebagai pengendali acara. Setelah itu, sang penari kuda kesurupan dan bertingkah aneh layaknya orang gila. Para penari itu terlihat lincah memainkan kuda mainan dan bahkan mereka makan pecahan kaca atau beberapa ekor ayam yang masih hidup. Para penari tidak merasakan sakit akibat pecahan kaca yang mereka makan atau merasa jijik dengan daging ayam yang dimakan hidup-hidup, semuanya karena ada roh lain yang merasuk dalam diri mereka. Roh itulah (jin) yang mengendalikan si penari.
6. Mitos
Cerita-cerita mitos yang menyesatkan memang masih merebak luas di tengah masyarakat. Masih banyak yang percaya bahwa ruh orang yang mati terbunuh akan menjelma menjadi hantu. Ada yang menyebutnya dengan istilah pocong, genderewo, dan lain-lain. Yang pasti, hantu tersebut akan gentayangan ke setiap tempat untuk membalas dendam. Jika yang mati adalah orang jahat, maka ia akan menjelma menjadi babi atau kera. Jelmaan ini akan mengganggu warga sekitar yang masih hidup.
Lebih lanjut, terdapat pula sisa-sisa animisme dan dinamisme yang berkembang. Seperti, mitos bulan Safar yang dianggap membawa sial. Mitos ini sangat dikenal oleh masyarakat kita, terutama masyarakat muslim. Adanya mitos demikian, sehingga terdapat ritual tertentu yang dijalankan untuk menolak bala di bulan Safar.
Di masyarakat Parahyangan dan Jawa, tersebar mitos-mitos yang berkembang sesuai dengan perkembangan budayanya. Dalam konsep ketuhanan orang Sunda sebelum Hindu, Hyang (sanghyang, sangiang) diyakini sebagai Sang Pencipta (Sanghyang Keresa) dan Yang Esa (Batara Tunggal) yang menguasai segala macam kekuatan, kekuatan baik ataupun kekuatan jahat yang dapat mempengaruhi roh-roh halus yang sering menetap di hutan, sungai, pohon, atau di tempat-tempat dan benda-benda lainnya. Ketika muncul proses Islamisasi di Nusantara, istilah sembahyang pun lahir dari tradisi menyembah Hyang (Yang Tunggal).
BAB III
Kesimpulan
Hakikatnya agama adalah keyakinan akan adanya Tuhan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, maka sangat perlu dipahami secaraseksama oleh setiap manusia. Agama juga membawa peraturan-peraturan berupa hukum-hukum yang harus dipatuhi baik dalam bentuk perintah yang wajib dilaksanakan maupun berupa larangan yang harus ditinggalkan.
Setiap agama pada dasarnya terdiri dari empat unsur, yaitu:
Ajaran (= teori; konsep) sebagai sisi gaib
Iman sebagai interaksi antara pelaku dan konsep,
Ritus (= upacara) sebagai sistem lambang, dan
Praktik ( = amal) sebagai perwujudan konsep dalam segala segi kehidupan individu dan masyarakat.
Rumusan Masalah
Bagamana hakikat agama yang sebenarnya?
Bagaimana usur-unsur agama sebenarnya?
bagaimana pengalaman beragama itu sebenarnya?
Tujuan penulisan makalah ini adalah
Untuk mengetahui hakikat agama yang sebenarnya
Untuk mengetahui unsur-unsur agama sebensrnya
Untuk mengetahui pengalaman beragama sebenarnya
Kajian pustaka
A. Hakekat Agama
Agama yang pada hakekatnya adalah keyakinan akan adanya Tuhan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, maka sangat perlu dipahami secaraseksama oleh setiap manusia.Dalam uraian ini akan kemukakan pengertian agama, hubungan agama dengan manusia, manfa’at agama, klasifikasi agama,dan agama Islam.
1. Pengertian agama
Agama dalam pengertiannya dapat dikelompokkan pada dua bahagian yaitu agama menurut bahasa dan agama menurut istilah. Beberapa persamaan arti kata“agama’’ dalam berbagai bahasa:
1. Ad din (Bahasa Arab dan Semit)
2. Religion (Inggris)
3.La religion (Perancis)
4. De religie (Belanda)
5. Die religion (Jerman)
Secara bahasa, perkataan ‘’agama’’ berasal dari bahasa Sangsekerta yang erat hubungannya dengan agama Hindu dan Budha yang berarti ‘’tidak pergi’’tetap di tempat, diwarisi turun temurun’’. Adapun kata din mengandung arti menguasai, menundukkan, kepatuhan, balasan atau kebiasaan.
Din juga membawa peraturan-peraturan berupa hukum-hukum yang harus dipatuhi baik dalam bentuk perintah yang wajib dilaksanakan maupun berupa larangan yang harus ditinggalkan. Kata din dalam Al Qur’an disebut sebanyak 94kali dalam berbagai makna dan kontek, antara lain berarti :
1. Pembalasan (Q.S Al Fatihah (1) ayat 4.
2. Undang-undang duniawi atau peraturan yang dibuat oleh raja (Q.S Yusuf (12)ayat 76.
3. Agama yang datang dari Allah SWT, bila dirangkaikan dengan kata Allah (Q.SAli Imran (3) ayat 83.
4. Agama yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad SAW sebagai agama yang benar, yakni Islam, bila kata din dirangkaikan dengan kata al-haq (Q.S AtTaubah (9) ayat 33
5. Agama selain Islam (Q.S Al Kafirun(109) ayat 6 dan Q.S Ash Shaf (61) ayat 9.
Menurut Abu Ahmadi agama menurut bahasa :
1. Agama berasal dari bahasa Sangsekerta yang diartikan dengan haluan,peraturan, jalan atau kebaktian kepada Tuhan.
2. Agama itu terdiri dari dua perkataan yaitu A. berarti tidak, Gama berarti kacau balau, tidak teratur. Jadi agama berarti tidak kacau balau yang berarti teratur.
Agama menurut istilah adalah undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengikat manusia dalam hubungannya dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam. Maka orang yang beragama adalah orang yang teratur, orang yang tenteram dan orang yang damai baik dengan dirinya maupun dengan orang lain dari segala aspek kehidupannya.
Sebuah agama biasanya melingkupi tiga persoalan pokok, yaitu :
1. Keyakinan (credial), yaitu keyakinan akan adanya sesuatu kekuatan supranatural yang diyakini mengatur dan mencipta alam.
2. Peribadatan (ritual), yaitu tingkah laku manusia dalam berhubungan dengan kekuatan supranatural tersebut sebagai konsekuensi atau pengakuan dan ketundukannya.
3. Sistem nilai yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya atau alam semesta yang dikaitkan dengan keyakinan nya tersebut.[1]
2. Klasifikasi Agama
Ditinjau dari sumbernya agama dibagi dua, yaitu agama wahyu dan agama bukan wahyu.
Agama wahyu (revealed religion) adalah agama yang diterima oleh manusia dari Allah Sang Pencipta melalui malaikat Jibril dan disampaikan serta disebarkan oleh Rasul-Nya kepada umat manusia. Wahyu-wahyu dilestarikan melalui Al Kitab, suhuf (lembaran-lembaran bertulis) atau ajaran lisan.Agama wahyu menghendaki iman kepada Tuhan Pemberi wahyu, kepada rasul-rasul penerima wahyu dan kepada kitab-kitab kumpulan wahyu serta pesannya disebarkan kepada seluruh umat manusia
Agama bukan wahyu (agama budaya/ cultural religion atau natural religion) bersandar semata-mata kepada ajaran seorang manusia yang dianggap memiliki pengetahuan tentang kehidupan dalam berbagai aspeknya secara mendalam. Contohnya agama Budha yang berpangkal pada ajaran Sidharta Gautama dan Confusianisme yang berpangkal pada ajaran Kong Hu Cu.
Perbedaan kedua jenis agama ini dikemukakan Al Masdoosi dalam Living
Religious of the World sebagai berikut :
1. Agama wahyu berpokok pada konsep keesaan Tuhan sedangkan agama bukan wahyu tidak demikian.
2. Agama wahyu beriman kepada Nabi, sedangkan agama bukan wahyu tidak.
3. Dalam agama wahyu sumber utama tuntunan baik dan buruk adalah kitab suci yang diwahyukan, sedangkan agama bukan wahyu kitab suci tidak penting.
4. Semua agama wahyu lahir di Timur Tengah, sedangkan agama bukan wahyu lahir di luar itu.
5. Agama wahyu lahir di daerah-daerah yang berada di bawah pengaruh ras semetik.
6. Agama wahyu sesuai dengan ajarannya adalah agama misionari, sedangkan agama bukan wahyu agama misionari.
7. Ajaran agama wahyu jelas dan tegas, sedangkan agama bukan wahyu kabur dan elastis.
8. Agama wahyu memberikan arah yang jelas dan lengkap baik aspek spritual maupun material, sedangkan agama bukan wahyu lebih menitik beratkan kepada aspek spritual saja, seperti pada Taoisme, atau pada aspek material saja seperti pada Confusianisme.
Agama wahyu disebut juga agama samawi (agama langit) dan agama bukan wahyu disebut agama budaya (ardhi/ bumi). Sedangkan yang termasuk dalam kategori agama samawi hanyalah Agama Islam.
3. Ciri-ciri Agama Wahyu (langit)
1. Secara pasti dapat ditentukan lahirnya, dan bukan tumbuh dari masyarakat,melainkan diturunkan kepada masyarakat.
2. Disampaikan oleh manusia yang dipilih Allah sebagai utusan-Nya. Utusan itu bukan menciptakan agama, melainkan menyampaikannya.
3. Memiliki kitab suci yang bersih dari campur tangan manusia.
4. Ajarannya serba tetap, walaupun tafsirnya dapat berubah sesuai dengan kecerdasan dan kepekaan manusia.
5. Konsep ketuhanannya adalah : monotheisme mutlak ( tauhid)
6. Kebenarannya adalah universal yaitu berlaku bagi setiap manusia , masa dan keadaan.
4. Ciri-ciri agama budaya (ardhi)
1. Tumbuh secara komulatif dalam masyarakat penganutnya.
2. Tidak disampaikan oleh utusan Tuhan ( Rasul).
3. Umumnya tidak memiliki kitab suci, walaupun ada akan mengalami perubahan-perubahan dalam perjalanan sejarahnya.
4. Ajarannya dapat berubah-ubah, sesuai dengan perubahan akal pikiranmasyarakatnya ( penganutnya).
5. Konsep ketuhanannya : dinamisme, animisme, politheisme, dan paling tinggi adalah monotheisme nisbi.
6. Kebenaran ajarannya tidak universal , yaitu tidak berlaku bagi setiap manusia, masa, dan keadaan.
5. Agama Sebagai Kebenaran
Pertama, ada dua macam agama, di tinjau dari sumbernya, yaitu: (1) agama budaya, yakni agama ciptaan manusia sendiri dan (2) agama wahyu, yakni agama yang diwahukan Allah swt. Kepada manusia;
Kedua, semua agama wahyu, semua agama para nabi, adalah agama Islam. Oleh karena itu, menurut Al Qur’an, agama islam adalah satu-satunya agama wahyu. Untuk selanjutnya, apabila kita bicara tentang agama, maka yang kita maksudkan agama wahyu itulah.
Dalam kesempatan ini baik dan perlu sekali kita ulangi yang pernah kita simpulkan yaitu: pertama, bahwa percaya dan kepercayaan itu lekat dengan diri pribadi manusia; kita tidak dapat membayangkan manusia dapat hidup dengan wajar tanpa suatu kepercayaan apapun. Kedua, bahwa baik dalam kehidupan dan penghidupan sehari-hari, maupun dalam lapangan ilmu pengetahuan, ataupun dalam bidang filsafat sekalipun, ternyata manusia tidak dapat melepaskan diri dari faktor kepercayaan. Ketiga, faktor kepercayaan ini memegang peranan pertama dan utama di dalam agama. Keempat, bentuk kepercayaan yang tinggi ialah agama.[2]
B. Unsur-unsur agama.
Setiap agama pada dasarnya terdiri dari empat unsur, yaitu:
Ajaran (= teori; konsep) sebagai sisi gaib
Iman sebagai interaksi antara pelaku dan konsep,
Ritus (= upacara) sebagai sistem lambang, dan
Praktik ( = amal) sebagai perwujudan konsep dalam segala segi kehidupan individu dan masyarakat.
Dalam dïnul-islãm (‘agama Islam’) keempat unsur itu terungkap melalui Hadis Jibril, yang mencakup butir-butir di bawah ini.
1. Ajaran Allah sebagai konsep hidup
Dalam dialog tentang iman, Rasulullah menegaskan tentang masalah terpenting dari dïnul-islãm, yaitu adanya interaksi antara seorang mu’min dengan ajaran Allah, yang disampaikan (diajarkan) melalui malaikat-malaikatNya, dalam bentuk kitab-kitab, yang diterima rasul-rasulNya, untuk mencapai tujuan akhir (kehidupan yang baik di dunia dan akhirat), dengan menjadikan ajaran Allah sebagai qadar (ukuran; standard; teori nilai) baik-buruk menurutNya.
Ajaran Allah yang dimaksud adalah Al-Qurãn.
Al-Qurãn sebagai qadr atau taqdïr adalah sisi gaib (abstract level) dari dïnul-islãm, yang merupakan “teori nilai” untuk menentukan baik buruknya segala sesuatu menurut pandangan Allah.
2. Îmãn sebagai interaksi
Iman pada hakikatnya adalah interaksi (aksi timbal balik) antara Allah sebagai pemberi konsep hidup dengan si mu’min yang menyambut da’wah (ajakan; tawaran) Allah melalui rasulNya. Selanjutnya, interaksi itu berlangsung intensif melalui penghayatan si mu’min terhadap Al-Qurãn, sehingga Al-Qurãn menjadi satu-satunya konsep hidup yang tumbuh subur dalam ‘organ kesadaran’ (al-qalbu) si mu’min, yang selanjut meledak dan membanjir keluar melalui indra pengucapan (al-lisãnu), dan akhirnya menjelma menjadi berbagai bentuk tindakan dan kretifitas (al-‘amalu). Tepat seperti dinyatakan Rasulullah, misalnya dalam hadis riwayat Ibnu Majah: ??????? ??? ?????? ? ????? ??????? ? ??? ???????? .
3. Ritus sebagai sistem lambang
Dalam dïnul-islãm ada sejumlah ritus yang dalam Hadis Jibril disebut dengan nama Al-Islãm pula, yaitu:
a. Syahãdah sebagai sumpah setia (bay’ah). Pada masa Rasulullah jelas bahwa syahadat (syahãdah) adalah sebuah ‘upacara’ (ritus) untuk menyatakan sumpah setia seseorang terhadap dïnul-islãm, alias untuk meresmikan rekrutmen seseorang atau sejumlah orang sebagai anggota bun-yãnul-islãm (organisasi Islam).
b. Shalat sebaga sarana pembatinan nilai-nilai Al-Qurãn, sekaligus pembinaan jama’ah/korp Islam. Orang-orang yang menyatakan diri (bersyahadat) sebagai anggota organisasi Islam tentu harus memahami dan menghayati konsep organisasinya, yakni Al-Qurãn. Hal itu dilakukan melalui shalat, yang bacaan pokoknya adalah surat Al-Fãtihan (ummul-qurãn) ditambah dengan surat-surat lain yang terus dipelajarinya. Selain itu, melalui shalat jama’ah, mereka juga belajar untuk membangun sebuah jama’ah atau korp yang rapi dan kompak.
c. Zakat sebagai sistem ekonomi. Zakat, mulai dari zakat harta sampai zakat fitrah, pada hakikatnya melambangkan kesediaan setiap mu’min yang mampu untuk mendanai organisasi dan memperkuat jama’ah. Lebih lanjut, setelah organisasi menjelma menjadi sebuah sistem yang dipercaya untuk menata kehidupan umat (jama’ah mu’min plus komunitas-komunitas lain, seperti terlihat pada Piagam Madinah), maka zakat itu pun dikembangkan menjadi sistem ekonomi masyarakat secara umum.
d. Shaum Ramadhan sebagai pembina ketahanan mental dan fisik dalam menerapkan nilai-nilai Al-Qurãn. Seluruh anggota organisasi jelas membutuhkan pembinaan mental dan fisik, supaya menjadi anggota-anggota yang militan dan tangguh. Shaum Ramadhan adalah sarana yang tepat untuk itu.
e. Haji sebagai sarana pemersatu umat Islam sedunia. Ibadah haji merupakan ritus yang paling istimewa di antara kelima ritus dalam dïnul-islãm. Melalui hajilah umat Islam sedunia berkumpul, menjalin persahabatan, persaudaraan, dan persatuan berdasar kesamaan iman.
4. Praktik sebagai perwujudan konsep
Dïnul-islãm pada dasarnya adalah agama yang berorientasi pada praktik (amal). Tapi supaya praktinya tidak dilakukan sembarangan, Allah menempatkan rasulNya sebagai tokoh sentral untuk memimpin dan memberikan contoh penerapan setiap aspek ajaran Islam, mulai dari yang bersifat individu sampai pada yang bersifat kemasyarakatan. Tegasnya, pribadi Rasulullah adalah contoh sempurna dari individu mu’min, dan masyarakat yang dibangun beliau bersama jama’ahnya juga, otomatis, merupakan bentuk masyarakat yang ideal. Sebuah masyarakat yang mewakili Al-Qurãn sebagai konsepnya.
5. Ihsãn sebagai sistem kendali
Seperti ditegaskan Rasulullah dalam Hadis riwayat Muslim, bahwa Allah menentukan al-ihsãn(u) pada setiap urusan, sampai pada urusan menyembelih hewan, maka bisa disimpulkan bahwa ihsan adalah sistem kendali (kontrol) atas setiap pelaksanaan ajaran Allah.
Dengan demikian, harfiah, ihsan bisa diterjemahkan sebagai “kecermatan, ketelitian, dan keseksamaan dalam melaksanakan ajaran Allah”.
Bagi kita sekarang, sikap ihsan harus diterapkan pertama-tama dalam konteks studi ajaran Allah itu sendiri, yang mencakup musshaf Al-Qurãn, kitab-kitab Hadits, plus buku-buku sejarah, dan lain-lain yang berkaitan. Studi ini harus mengarah pada “ditemukannya makna Al-Qurãn yang utuh dan murni”, yaitu suatu makna yang mampu merekonstruksi pribadi-pribadi (tokoh-tokoh), jama’ah, dan umat yang dulu dibangun Rasulullah bersama para sahabat beliau. Suatu makna yang, pertama-tama, mampu menegaskan bahwa persatuan para mu’min adalah mutlak wajib, dan perpecahan mereka adalah mutlak haram!
6. Sã’ah sebagai peluang da’wah
Harfiah, sã’ah berarti waktu, tapi waktu di sini bukanlah sembarang waktu. Dalam konteks Nabi Muhammad pada masanya, sã’ah yang dimaksud adalah waktu yang dibentangkan Allah sebagai wilayah da’wah hingga mencapai hasil. Tepatnya, waktu yang dimaksud adalah 13 tahun dalam Periode Makkah, dan 10 tahun dalam Periode Madinah. Yang pertama (Periode Makkah) merupakan masa perjuangan untuk memperkenalkan konsep Allah dan membangun jama’ah. Yang kedua (Periode Madinah) adalah masa pembangunan konsep Allah itu menjadi sebuah sistem pemerintahan.
7. Tanda-tanda sã’ah sebagai gambaran tujuan
Melalui Hadis Jibril kita mendapat gambaran bahwa tujuan penegakan ajaran Allah pada dasarnya adalah demi mencapai target-target:
a. Lenyapnya diskriminasi kelas dan gender, yang merupakan produk feodalisme dan antek-anteknya, dan
b. Lenyapnya kemiskinan struktural, yang merupakan produk kapitalisme dan antek-anteknya.
Feodalisme dan kapitalisme adalah musuh Al-Qurãn pada masa Rasulullah, dan juga pada masa sekarang.[3]
Agama sebagai pustaka kebenaran.
Iman: sikap jiwa
Iman: pertama dan utama
Agama sebagai kebenaran
Kebenaran mutlak dan kebenaran relatif[4]
C. Pengalaman Beragama
Agama merupakan salah satu aspek yang paling penting dari pada aspek-aspek budaya yang dipelajari oleh para antropolong dan para ilmuan sesial lainnya. Sangat penting bukan saja yang di jumpai pada setiap masyarakat yang sudah diketahui, tetapi juga karena penting saling pengaruh mempengaruhi antara lembaga budaya satu sama lainya. Didalam agama itu dijumpai ungakapan meteri budaya dalam tabiat manusia serta dalam sistem nilai, moral dan etika. Agama itu saling pengaruh mempengaruhi dengan sistem organisasi kekluaragaan, perkawinan, ekonomi, hukum dan politik. Agama juga memasuki lapangan pengobatan, sains dan teknologi. Serta agama itu telah memberikan inspirasi untuk memberontak dan melakukan peperanagan dan terutama telah memperindah dan memperhalus karya seni. Tidak terdapat suatu institusi kebudayaan lain yang menyajikan suatu lapangan ekspresi dan implliksi begitu halus seperti halnya agama. Ide-ide kagamaan dan konsep-konsep keagamaan itu tidak di periksa oleh hal-hal yang bersifat fisik sekiranya. Segala macam fornula itu tidak menjumpai keterbatasan di banding permasalahan spiritual yang dipertanyakan oleh manusia itu sendiri.[5]
1. Animisme
Animisme besal dari keta anima, animae; dari bahasa latin ‘animus’ dan bahasa yunani ‘avepos’, dalam bahasa sansakerta disebut ‘prana’ dalam bahasa brani disebut ‘Ruah’ yang artinya ‘napas’ atau ‘’jiwa’. Ia, adalah ajaran atau doktrin tentang realitas jiwa.
Dalam filsafat, animisme adalah doktrin yang menempatkan asal mula kehidupan mental dan fisik dalam suatu energi yang lepas atau sekurang-kurangnya berbeda dari jasad. Atau, animisme adalah teori bahwa segala objek-objek alami itu bernyawa atau berjiwa, mempunyai ‘spirit’ dan bahwa kehidupan mental dan fisik bersumber pada nyawa, jiwa atau ‘spirit’ tadi.
Dan dalam studi tentang sejarah agama prinsip kita mengenal ‘Necrolaty’, ‘Spiritisme’, ‘Naturisme’, dan ‘Animisme’. Necroalty adalah pemujaan terhadap roh-roh atau jiwa manusia dan binatang, terutama pemujaan terhadap roh orang yang telah meninggal. Spiritisme adalah pemujaan terhdap makluk spiritual yang tidak dihubungkan dalam suatu cara yang mapan dengan jasad-jasad tertentu dan obyek-obyek tertentu.[6]
2. Dinamisme
Manusia mulai menganalisa setiap peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Sebelumnya, manusia primitif mulai mengeluarkan teori-teori tentang hakikat benda atau materi. Ia mulai menggabungkan antara keberadaan ruh manusia dengan keberadaan benda lain seperti air, udara, api, dan tanah.
Animisme berkembang lebih awal daripada dinamisme. Animisme menitikberatkan pada perkembangan ruh manusia. Mulai dari sini, manusia primitif menyimpulkan bahwa setiap materi yang memiliki sifat yang sama, maka memiliki substansi yang sama pula. Jika manusia mati dan hidup, tidur dan terjaga, kuat dan lemah, diam dan bergerak, kemudian manusia diyakini memiliki ruh, maka pepohonan, binatang, laut, api, matahari, bulan, dan materi-materi lainnya pun memiliki ruh seperti manusia.
Menurut mereka, setiap materi memiliki kesamaan sifat dengan manusia. Sebagai contoh, api memiliki sifat yang sama dengan manusia. Api memiliki kekuatan untuk membunuh atau melenyapkan apapun dengan panasnya sebagaimana manusia mampu membunuh binatang dengan kekuatan tangannya. Karena itulah, api mempunyai ruh. Bagi manusia primitif, menyembah api adalah proses menghormati keberadaan api itu sendiri. Penyembahan tersebut dilakukan agar tidak terjadi kebakaran seperti kebakaran hutan, sedangkan kebakaran diyakini sebagai bentuk kemurkaan api. Selanjutnya, berkembanglah paham banyak tuhan, banyak roh, banyak dewa, atau banyak kekuatan ghaib. Setiap kawasan bumi, hutan, sungai, laut, atau bahkan ruang angkasa, semuanya diyakini memiliki kekuatan tersendiri.[7]
3. Sinkretisme agama
Animisme dan dinamisme adalah kepercayaan kuno yang tumbuh lebih awal sebelum kedatangan Islam di nusantara. Walaupun pada hakikatnya, agama Islam adalah kepercayaan yang pertama kali ada dalam kehidupan manusia. Nabi Adam adalah manusia pertama yang menganut Islam. Oleh karena itu, animisme dan dinamisme tidak lain adalah salah satu bentuk dari penyelewengan ajaran Allah. Namun bagaimanapun juga, penyebaran Islam di nusantara memang tidak bisa dipungkiri akan adanya perpaduan atau percampuradukan antara ajarannya yang agung dengan kepercayaan animisme dan dinamisme.
Dampak dari adanya sinkretisme agama ini terlihat nyata di sekeliling kita. Sebagai contoh, adanya penghormatan khusus terhadap roh nenek moyang yang menjadi leluhur kita. Atau adanya pemujaan khusus terhadap Ratu Pantai Selatan. Atau bahkan menyebarnya cerita-cerita khurafat yang berkembang di tengah-tengah masyarakat muslim. Selain itu, menyebarnya praktik sihir dan perdukunan adalah produk asli dari animisme dan dinamisme. Terlebih, sinkretisme telah melegalkan bahwa praktik perdukunan adalah ajaran Islam juga. Hal ini terlihat dengan meluasnya praktik-praktik sihir yang dilakukan oleh orang-orang yang bertitel ’kyai’. Semua ini adalah realita yang nyata akibat sinkretisme agama.
Sebenarnya, banyak beberapa sisa-sisa animisme dan dinamisme, terutama di nusantara, baik ajaran tersebut masih murni ataupun telah ada pembauran dengan Islam. Berikut beberapa contoh sisa-sisa animisme dan dinamisme:[8]
4. Upacara dan Ritual Adat
Banyak masyarakat kita yang masih mempertahankan beberapa macam upacara atau ritual yang masih murni berkaitan dengan animisme dan dinamisme atau telah mengalami pembauran dengan Islam. Salah satu contohnya dalah upacara kelahiran dan kematian. Hampir di setiap daerah nusantara menggelar upacara kelahiran dan kematian dengan ritual-ritual berbeda. Contoh, di Aceh terdapat upacara Peugot Tangkai. Upacara ini adalah perajahan barang/benda dengan membacakan mantera untuk dipakai pada wanita hamil empat bulan.
Tentang acara ritual kematian dalam adat masyarakat Aceh yang sampai sekarang ini masih diamalkan seperti, apabila ada kematian di sebuah keluarga, maka semua pakaian dan kain-kain yang menyelimuti mayat tadi disimpan pada suatu tempat. Kain-kain ini disebut dengan reuhab. Biasanya disimpan di atas tempat tidur untuk selama empat puluh hari atau empat puluh empat hari. Setelah selesai upacara penguburan tadi, mulai malam pertama sampai dengan malam ketiga diadakan samadiah atau tahlil. Masih banyak lagi ritual-ritual aneh seperti membakar kemenyan pada malam jum’at kliwon dan selasa kliwon. Menyediakan sesaji pada hari kelahiran bayi. Di kamar bayi yang baru lahir digantungkan keris dan kain merah. Atau sesaji di bawah pohon beringin.[9]
5. Kesenian Budaya
Di bumi nusantara ini, masih terdapat beberapa macam kesenian yang jelas berasal dari budaya animisme dan dinamisme. Satu contoh seperti Tarian Kuda Lumping di Jawa Barat. Biasanya, sebelum pertunjukkan dimulai, para peserta wajib dibekali mantera-mantera tertentu oleh sang dukun sebagai pengendali acara. Setelah itu, sang penari kuda kesurupan dan bertingkah aneh layaknya orang gila. Para penari itu terlihat lincah memainkan kuda mainan dan bahkan mereka makan pecahan kaca atau beberapa ekor ayam yang masih hidup. Para penari tidak merasakan sakit akibat pecahan kaca yang mereka makan atau merasa jijik dengan daging ayam yang dimakan hidup-hidup, semuanya karena ada roh lain yang merasuk dalam diri mereka. Roh itulah (jin) yang mengendalikan si penari.
6. Mitos
Cerita-cerita mitos yang menyesatkan memang masih merebak luas di tengah masyarakat. Masih banyak yang percaya bahwa ruh orang yang mati terbunuh akan menjelma menjadi hantu. Ada yang menyebutnya dengan istilah pocong, genderewo, dan lain-lain. Yang pasti, hantu tersebut akan gentayangan ke setiap tempat untuk membalas dendam. Jika yang mati adalah orang jahat, maka ia akan menjelma menjadi babi atau kera. Jelmaan ini akan mengganggu warga sekitar yang masih hidup.
Lebih lanjut, terdapat pula sisa-sisa animisme dan dinamisme yang berkembang. Seperti, mitos bulan Safar yang dianggap membawa sial. Mitos ini sangat dikenal oleh masyarakat kita, terutama masyarakat muslim. Adanya mitos demikian, sehingga terdapat ritual tertentu yang dijalankan untuk menolak bala di bulan Safar.
Di masyarakat Parahyangan dan Jawa, tersebar mitos-mitos yang berkembang sesuai dengan perkembangan budayanya. Dalam konsep ketuhanan orang Sunda sebelum Hindu, Hyang (sanghyang, sangiang) diyakini sebagai Sang Pencipta (Sanghyang Keresa) dan Yang Esa (Batara Tunggal) yang menguasai segala macam kekuatan, kekuatan baik ataupun kekuatan jahat yang dapat mempengaruhi roh-roh halus yang sering menetap di hutan, sungai, pohon, atau di tempat-tempat dan benda-benda lainnya. Ketika muncul proses Islamisasi di Nusantara, istilah sembahyang pun lahir dari tradisi menyembah Hyang (Yang Tunggal).
BAB III
Kesimpulan
Hakikatnya agama adalah keyakinan akan adanya Tuhan yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, maka sangat perlu dipahami secaraseksama oleh setiap manusia. Agama juga membawa peraturan-peraturan berupa hukum-hukum yang harus dipatuhi baik dalam bentuk perintah yang wajib dilaksanakan maupun berupa larangan yang harus ditinggalkan.
Setiap agama pada dasarnya terdiri dari empat unsur, yaitu:
Ajaran (= teori; konsep) sebagai sisi gaib
Iman sebagai interaksi antara pelaku dan konsep,
Ritus (= upacara) sebagai sistem lambang, dan
Praktik ( = amal) sebagai perwujudan konsep dalam segala segi kehidupan individu dan masyarakat.
Agama itu saling pengaruh mempengaruhi dengan sistem organisasi kekluaragaan, perkawinan, ekonomi, hukum dan politik. Agama juga memasuki lapangan pengobatan, sains dan teknologi. Serta agama itu telah memberikan inspirasi untuk memberontak dan melakukan peperanagan dan terutama telah memperindah dan memperhalus karya seni. Tidak terdapat suatu institusi kebudayaan lain yang menyajikan suatu lapangan ekspresi dan implliksi begitu halus seperti halnya agama.
0 komentar:
Posting Komentar